NATIVE ASYNC

Rabu, 31 Januari 2018

, , , , ,

Menikmati Hujan di Bukit Srobi Ambarawa

Angin kencang menghalangi saya untuk ikut serta dalam momen peresmian Desa Wisata Pasekan “Bukit Srobi pada 28 Januari 2018 lalu. Bukit Srobi ini sendiri merupakan salah satu destinasi wisata baru yang terletak di Gunung Sraba, Desa Pasekan, Kecamatan Ambarawa, Kabupaten Semarang.

 




Meskipun gagal menjadi saksi peresmiannya, setelah menyelesaikan pekerjaan akhirnya saya memutuskan untuk memenuhi rasa penasaran untuk bertandang ke Bukit Srobi.

Sepanjang Perjalanan Disuguhi Pemandangan Sawah Hijau



 



 

Berbekal petunjuk GPS dan Google Map, saya menyusuri jalanan Ambarawa hingga ke Gua Maria Kerep Ambarawa. Petunjuk masih memandu saya untuk terus mengikuti jalan lurus. Melewati deretan sawah hijau dengan pemandangan yang memukau. Dari ketinggian tampak kilau air Rawa Pening yang terkena cahaya matahari.

 



Melewati sawah dan kebun, mulai muncul papan petunjuk berbentuk tanda panah bertuliskan “Bukit Srobi”. Bisa dibilang, petunjuk arah yang ada sangat membantu. Jarak masing-masing papan petunjuk dibuat tidak terlalu jauh, tetapi juga tidak terlalu berdekatan. Sayangnya, tetap saja ‘nyasar’ itu indah. Sampai di desa Kintelan saya justru kebingungan harus mengambil jalan arah ke kanan atau ke kiri untuk masuk ke lokasi Bukit Srobi.


 


 



Beruntung lewat seorang ibu yang dengan senang hati menunjukkan arah yang saya cari. Beliau menunjukkan jalan lurus melewati sebuah masjid, (seingat saya) bercat hijau. Tidak jauh dari tempat saya berhenti, rupanya tertera dengan jelas gerbang masuk Desa Wisata Pasekan “Bukit Srobi”.

“Sudah hampir sampai,” pikir saya. Ternyata salah, karena saya masih harus menempuh perjalanan selama beberapa ratus meter dari gerbang masuk tersebut hingga sampailah di lokasi parkir.

“Wahai Hujan Mengapa Engkau Harus Menyapa Secara Tiba-tiba?”



 

 


 
 



Tidak banyak terlihat kendaraan yang terparkir disana. Hanya terlihat beberapa ibu penjual jajanan di sekitar, ibu-ibu dengan segepok kertas parkir dan karcis masuk wisata, dan beberapa bapak-bapak yang sedang sibuk mengangkut peralatan (sepertinya yang digunakan untuk acara peresmian).

Tepat setelah memarkirkan motor, tiba-tiba turun hujan. Kali ini lebih memilih menepi karena volume hujan rasanya bisa membuat tubuh basah kuyup dalam sekejap. Ya, risiko memutuskan jalan-jalan saat cuaca sedang tidak begitu mendukung memang seperti ini, bukan? Kepalang tanggung, daripada ngambek pulang lebih baik menunggu sejenak sampai hujan reda dan laangit sedikit tersenyum.

Camilan yang saya bawa habis tepat saat hujan bersedia mulai berkurang. Dengan senyum lebar dan semangat ’45 saya memutuskan untuk berjalan kaki menuju ke puncak Bukit Srobi. Sebenarnya motor bisa dibawa sampai ke atas, hanya saja dibanding harus berhadapan dengan risiko jatuh terpeleset karena jalanan licin, lebih baik motor parkir manis di lokasi parkir yang sudah tersedia.


 


 



Menuju ke puncak bukan perjalanan yang mulus. Beberapa kali harus berhenti berteduh di warung-warung yang kebetulan belum buka karena hujan kembali menyapa. Untungnya 100 meter sebelum sampai di pintu masuk top selfie Bukit Srobi, matahari dengan ramahnya menyapa membuat pemandangan sekitar menjadi lebih bersahabat untuk difoto.


 

Spot Selfie Kekinian, Jendela “Langit” – Rumah Dayak Pribumi


 



 


Pertama kali melangkah melewati gerbang top selfie. Kamera berkeliling menyapu spot-spot selfie yang sudah disediakan oleh pengelola. “Unik,” cuma satu kata itu yang keluar dari bibir saya. Meskipun belum sepenunya “rampung”, fasilitas yang ada lumayan memenuhi ekspektasi saya saat menuju ke Bukit Srobi.

 

 
Berada di Bukit Srobi saat sedang weekdays, meskipun sedang hujan, memang menguntungkan. Paling tidak saya bisa berpose suka-suka di berbagai spot selfie yang ada tanpa perlu mengantre atau harus rela mendapat hasil foto dengan background lautan manusia.

 


 

Dari sekian banyaknya spot selfie yang disediakan oleh pihak pengelola, rumah Dayak Pribumi menjadi yang paling menarik bagi kamera saya. Bukan hanya karena memiliki bentuk yang unik – terbuat dari damen (batang padi) – masuk ke rumah Dayak Pribumi ini saya bisa menemukan jendela yang menyuguhkan pemandangan perbukitan dan gunung (entah Gunung Merbabu atau Gunung Sumbing) di kejauhan. 

 



 



Nah, satu hal yang membuat saya senyum-senyum sendiri saat berada di destinasi baru Ambarawa yang satu ini adalah adanya bunga-bunga mawar beraneka rupa di berbagai spot. Semoga saja wisatawan yang antusias untuk berfoto tidak lalai dan menginjak bunga-bunga yang ada. Jadi saat sudah tumbuh lebih tinggi, suasana sekitar menjadi lebih cantik. Terlebih lagi, ada beberapa bunga yang saya lihat memiliki warna sangat unik. Misalnya, satu bunga memiliki warna dari perpaduan oranye dan merah muda.

Selain itu, terlihat juga beberapa pot bunga berbahan celana jeans. Kalau dilihat sekilas tampak seperti bagian bawah tubuh manusia. Ngeri sih, tapi lucu kan? Apalagi disandingkan dengan tulisan-tulisan ‘nyeleneh’ yang dibuat pengelola di spot-spot yang ada. Menggelitik!


 



Berburu Kamar Mandi dan Sewot Dengan Sepatu Berbalut Tanah Lengket


 

bukit srobi



Mendung kembali menggelayut manja, seolah berbisik, "sudah waktunya pulang." Meskipun hari sebenarnya masih siang dan di lokasi tersedia cukup banyak spot yang bisa digunakan berteduh.

Sayangnya, sepatu harus rela menjadi lebih berat karena tanah di Bukit Srobi cenderung bertekstur lengket saat terkena air. Bukan becek, tapi justru lengket sehingga mengangkat kaki pun menjadi hal yang sedikit melelahkan. Tidak hanya itu, kamar mandi sepertinya juga belum begitu siap. Pintu tidak bisa ditutup dengan rapat, dinding masih belum tertutup sepenuhnya, dan saat keran dinyalakan sama sekali tidak ada air yang mengalir. Untungnya, kamar mandi yang berada di sekitar lokasi parkir berfungsi sebagaimana mestinya. Meskipun pintu kamar mandi lagi-lagi memang tidak bisa ditutup dengan sempurna.

O iya, saat turun dari puncak Bukit Srobi saya sempat bertemu dengan bapak-bapak yang mengenakan kaos bertuliskan Desa Wisata Pasekan “Bukit Srobi” (mungkin salah satu pengelolanya). Tidak sempat berbincang banyak karena memang mengejar buru-buru sampai di kamar mandi. Beliau sempat menanyakan kesan setelah berkunjung ke Bukit Srobi dan menyampaikan bahwa sudah tersedia buku tamu, hanya saja beliau kesiangan sehingga buku yang dimaksud belum dioperasikan sebagaimana mestinya. Beliau juga sempat menanggapi keluhan saya mengenai jalanan yang becek karena efek hujan. Menurut informasi dari beliau, jalan cor-coran yang memang baru separuh akan disambung sampai ke atas (puncak Bukit Srobi).


 


 


 

 

Semoga kedepannya saat berkesempatan bertandang lagi, Bukit Srobi sudah menjadi jauh lebih menggoda. Pastinya saat cuaca cerah atau musim panas sepertinya menjadi waktu yang paling recommended. Kenapa? Karena pemandangan sekitar bisa terlihat dengan jelas saat cuaca cerah. Saya sendiri jadi penasaran bagaimana indahnya kalau seandainya saya berkunjung saat bukan hari hujan.



0 komentar:

Posting Komentar