NATIVE ASYNC

Jumat, 27 April 2018

, , , ,

Menyapa Golden Sunrise Di Gunung Sikunir, Sempat Tertipu Kabut

Setelah lebih dari 10 jam bertarung dengan dinginnya tepi Telaga Cebong (baca= Menanti Golden Sunrise: Camping di Telaga Cebong) demi menantikan golden sunrise Gunung Sikunir, waktu yang ditunggu-tunggu itu pun tiba. Mengekor di belakang rombongan SMA yang (sepertinya) datang dari Jawa Barat, sekitar jam 4 pagi saya bersama partner dan sejumlah pengunjung lainnya memutuskan untuk mulai mendaki.


Berawal Jalanan Mulus, Kabut Pekat Semakin Menutup Jalur


puncak gunung sikunir

 

Dari kawasan camping Telaga Cebong, jalanan yang harus dilalui terbilang sangat mulus. Di sisi kiri dan kanan jalan, terlihat beberapa homestay dan juga warung makan yang masih tertutup rapat. Tetapi jalanan mulus yang harus saya lalui tiba-tiba berubah menjadi jalanan tanah berupa anak tangga yang membutuhkan ekstra tenaga untuk melewatinya. Ya, ribuan anak tangga yang tersusun rapi itu lah yang akan mengantarkan pengunjung menuju ke puncak Gunung Sikunir.

Semakin tinggi, jalur menuju puncak view point golden sunrise semakin tertutup oleh kabut tebal. Bahkan senter yang dibawa pun tidak sanggup menembusnya. Alhasil hanya memanfaatkan insting dan penglihatan yang tidak setajam elang, saya dan partner sempat menyusul rombongan depan. Sebelumnya kami sempat tertinggal karena partner mengalami insiden 'kumat' pada kakinya yang dahulu sempat mengalami cedera.

Tadinya kami juga sempat bertemu dengan salah seorang siswi SMA yang kembali diantarkan turun oleh gurunya karena tidak sanggup melanjutkan perjalanan menuju puncak. Maklum menurut penuturan sang guru, siswi bersangkutan sedang dalam kondisi yang tidak sehat dan sempat muntah-muntah di tengah pendakian. Nah, inilah kenapa seringkali diingatkan bahwa sebaiknya jangan nekat untuk mendaki jika memang kondisi fisik dan kesehatan sedang tidak fit.

 

Niatnya Berhenti di Tengah Tapi Sampai Ke Puncak


puncak gunung sikunir

 

Melihat si partner yang meringis kesakitan sambil tetap nekat melanjutkan pendakian, tentunya muncul perasaan tidak tega. Maka dari itu, saya memutuskan untuk berhenti saja di view point pertama atau kedua ( di tengah-tengah). Tapi ternyata kaki saya berhenti tepat di hadapan ratusan pengunjung lainnya yang sudah berbaris rapi di puncak Gunung Sikunir. Beberapa lainnya bahkan menyebar ke view point kedua karena di puncak sudah terlalu padat.

Saya sendiri asal saja duduk demi mengamankan posisi yang ternyata salah. Ya, karena rupanya saya menghadap ke arah membelakangi matahari terbit. Untung saja  buru-buru memeriksa kompas dan ternyata benar kalau terbalik. Pantas saja di depan saya yang terlihat justru pucuk-pucuk pohon yang pastinya tidak akan memungkinkan untuk melihat sunrise tiba.

Setelah mencari celah, tibalah waktu berputar menghadap arah di mana matahari sebenarnya akan terbit. Bersyukur akhirnya tetap mendapatkan tempat yang cukup strategis dan aman. Jujur saja saya agak menjauh dari tebing, alasannya tentunya antisipasi terjatuh karena kabut tebal tidak memungkinkan mata untuk melihat sekitar dengan lebih jelas.

 

Dipermainkan Kabut, Kok Malah Turun Dek?


view point 2 sunrise sikunir

 

Menunggu dari sekitar jam 4.30 wib sampai hampir jam 5.30 wib ditemani kabut pekat memang sesekali membuat perasaan ingin menyerah tiba-tiba muncul. Apalagi suhu pagi itu di puncak Gunung Sikunir hanya berkisar mulai dari 0 derajat celcius sampai dengan 2 derajat celcius. Bagi yang sering mendaki atau pernah tinggal di wilayah dengan suhu dingin, pasti tahu kan bagaimana istimewa rasanya?

Saya sendiri sebelumnya sudah mendapatkan bocoran bahwa golden sunrise di puncak Gunung Sikunir memang biasanya muncul sekitar jam 5.30 wib. Maka dari itu saya masih bertahan di tengah jari-jari yang mulai membeku dan mata yang sesungguhnya mulai mengantuk. Sayangnya, guru atau guide dari rombongan SMA yang ada di samping saya rupanya berbeda pikiran hingga berkali-kali menghimbau untuk turun saja karena kabut tidak kunjung terbuka.

Ya, memang sih kabutnya masih sangat pekat dan matahari sama sekali belum terlihat muncul. Tapi toh saat itu jam 5.30 saja masih kurang beberapa menit. Jadi harapan itu juga masih ada. Apalagi sempat terlihat semburat-semburat tipis, meskipun masih kembali tertutup kabut, bersamaan dengan beberapa anak yang akhirnya menurut memutuskan untuk turun.

 

Finally Bisa Menyaksikan Langsung Golden Sunrise Dari Puncak Gunung Sikunir


golden sunrise sikunir

 

Karena cukup banyak yang memutuskan untuk turun, suasana di puncak Gunung Sikunir justru menjadi lebih lega. Banyak yang mulai memasang tripod dan bersiap untuk mengabadikan kehadiran sang surya. Sampai akhirnya, momen yang ditunggu-tunggu itu pun benar-benar tiba. Golden sunrise terbaik se-Asia Tenggara dengan semburat keemasan tampak memukau dari puncak Gunung Sikunir.

Golden sunrise yang muncul berada berjauhan dari Gunung Prau yang tampak menantang. Terlihat di sekeliling masih tampak kabut yang menambah dramatis suasana, terutama dalam bidikan kamera para pengunjung yang sudah setia menunggunya. Hah... Ada banyak kegembiraan yang sebenarnya ingin saya ungkapkan. Tapi kata-kata saya sudah habis untuk bisa menggambarkannya di detik itu juga.

Sayang, bodohnya saya lupa memeriksa pengaturan kamera sehingga mendapatkan hasil yang kurang memuaskan. Tau kenapa? Kamera justru saya buat auto fokus dan bukan manual. Fyuh

Meskipun begitu saya tetap menikmati apa yang pagi itu tampak di hadapan mata. Sampai akhirnya matahari mulai meninggi membuat puncak Gunung Sikunir tampak lebih jelas. Semakin menunjukkan bahwa bukan hanya sunrise-nya saja yang memukau, tetapi juga semuanya yang tampak di Gunung Sikunir.

 

Saatnya Turun Dan Mencari Mie Ongklok Demi Mengisi Perut Yang Lapar


view point sunrise 1 sikunir

 

Karena matahari sudah tinggi, para pengunjung kembali berbaris rapi untuk turun dari puncak Gunung Sikunir. Dalam perjalanan turun inilah saya baru menyadari bahwa view point pertama adalah tempat di mana awalnya saya berhenti saat partner mengeluhkan kakinya terasa sakit. Tempat yang tadinya tidak terlihat karena kabut yang menutup begitu tebalnya.

Sementara saat mendekati sampai di Telaga Cebong, sejumlah pengunjung berbelok ke warung-warung yang ada untuk mengisi perut sambil menikmati pemandangan telaga dari ketinggian. Saya sendiri mengajak partner untuk berkemas dan turun ke Dieng demi semangkuk mie ongklok.

Ya, sebelumnya saya sudah bertanya pada beberapa pemilik warung di lokasi camping mengenai mie ongklok. Mereka bilang mau tidak mau memang kami harus turun ke Dieng atau Wonosobo kota jika ingin menikmati kuliner yang satu itu.

0 komentar:

Posting Komentar